Pendahuluan
Kurikulum dalam sebuah pendidikan tinggi menjadi inti dari seluruh proses pendidikan. Oleh karenanya, kurikulum wajib dievaluasi setiap tahun dan disesuaikan dengan perkembangan jaman paling tidak tiap 4 tahun. Dengan demikian, kurikulum Jurusan Arsitektur 2008 perlu dievaluasi dan diperbarui dengan mengadaptasi pada kecenderungan global dan sekaligus sebagai upaya mengadopsi standar internasional secara penuh dalam rangka menuju akreditasi internasional. Proses evaluasi telah dilakukan secara komprehensif di tahun 2012 dan Jurusan Arsitektur telah berhasil menyusun Kurikulum 2013 secara komprehensif. Kurikulum ini mulai diimplementasikan untuk tahun akademik 2013/2014.
Tulisan ini merupakan serial yang akan memberikan deskripsi rinci Kurikulum 2013 tersebut agar para mahasiswa dapat memahami lebih baik dan mampu beradaptasi dengan kurikulum baru ini.
Mengadaptasi Kecenderungan Global Pendidikan dan Profesi Arsitek
Dalam dunia yang berubah terdapat dampak yang signifikan dalam perkembangan pendidikan arsitektur. Paling tidak, menurut Ganapathy Mahalingam, PhD dalam Konvensi AIA yang berjudul “Emerging Trends for Architectural Education in the 21st Century” terdapat 7 aspek yang berkembang sebagaimana yaitu:
1. Kinerja pemodelan dan simulasi. Di sini dituntut adanya pengetahuan dan skil yang mampu mensimulasikan kinerja sebuah rancangan dengan teknologi yang sesuai serta kemampuan mensimulasikan biaya, keterbangunan, skejuling, jejak energi (energy footprint), kondisi lingkungan. Dampak terhadap tapak serta secara finansial.
2. Praktik yang cenderung mengarah ke integrasi. Dalam aspek ini terdapat tuntutan untuk menggabungkan / mengintegrasikan tim konsultan dengan kontraktor dan bekerja langsung dengan suplier material bangunan dan sistem. Hal ini berkembang untuk mengontrol biaya, waktu konstruksi serta memastikan adanya life-cycle performance dengan negosiasi kolaboratif yang langsung.
3. Berkembangnya forensik lingkungan. Di sini dituntut adanya pengetahuan dan skill untuk mengevaluasi kinerja lingkungan (termal, akustik, visual, transformasi energi) pada bangunan yang ada menggunakan teknologi yang tersedia. Aspek ini menuntut kemampuan untuk mencari remedi / solusi perbaikan, penambahan, rehabilitasi terhadap kerusakan ataupun building sickness.
4. Kurator bangunan bukan sekedar manajemen fasilitas. Aspek ini memperlihatkan adanya tuntutan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengubah bangunan yang ada dengan intervensi artistik dan desain yang adekuat dan mengimbuhinya dengan nilai-nilai kultural dan sosial. Artinya tuntutan kini bukan sekedar facility management tetapi hingga menciptakan “cultural content” sebuah bangunan sehingga menjadi lebih punya makna.
5. Building information modelling (BIM). Saat ini dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan skill penggunaan model informasi untuk bangunan untuk menampilkan simulasi dan pemodelan yang berkualitas serta untuk menjaga kinerja bangunan melalui manajemen dan kuratorial yang berkualitas pula.
6. Wirausaha berbasis desain. Dunia yang berubah secara sosial juga memunculkan peluang baru yang berbasis desain. Teknologi sangat berperan dalam menciptakan bisnis baru ini termasuk media sosial.
7. Pasar sosial – global. Perlunya pengetahuan dan skill yang diperlukan untuk mengungkit pasar desain dalam konteks sosial di seluruh dunia. Artinya layanan jasa desain saat ini sudah sangat global sehingga diperlukan pula ketrampilan dan pengetahuan baru untuk memahami manusia dan konteks sosialnya yang dapat berbasis pada sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, hukum, agama, filosofi, musik, film, iklan dan lain-lain.
Dalam perubahan kecenderungan ini terdapat hal-hal yang juga berubah. Di antaranya berupa posisi gambar dan model fisik serta spesifikasinya yang mengarah pada pemodelan informasi, hubungan klien-arsitek-kontraktor yang terintegrasi, praktik yang kolaboratif ketimbang authorship of design, berkembangnya ideologi sebagai mandat ketimbang kejelasan tugas, serta perhatian lebih pada design of everyday habitat. Jurusan memandang bahwa teknologi informasi dan kolaborasi saat ini adalah langkah strategis dan bukan sekedar sebagai alat belaka yang berpotensi untuk percepatan, enhancement dan sinkronisasi secara cepat dengan dunia global. Oleh karenanya hal ini harus didukung dan diterobos dengan berbagai inovasi kebijakan dan layanan serta komitmen belajar semua pihak. Sinyal-sinyal perkembangan edukasi arsitektur di atas menjadi bahan pertimbangan yang sangat khusus dalam mengembangkan Kurikulum 2013 ini.
Mengadopsi Standar Internasional
Selain perkembangan secara substantial, fokus arsitektur utamanya di ASEAN adalah adanya kebijakan Mutual Recognition Arrangement (MRA) in Architectural Services yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI dan akan berlaku segera di tahun 2015 bersamaan dengan pencanangan Asean Community. MRA ini mensyaratkan adanya standar mutu lulusan pendidikan arsitektur yang setara dengan kualifikasi internasional, diantaranya adalah mengikuti kurikulum yang berbasis 5 tahun. Model pembelajaran ini mengikuti skema yang ditetapkan oleh UIA melalui badan-badang akreditasinya baik NAAB hingga ke KAAB (Korea Architectural Acrediting Board). Oleh karenanya respon Jurusan Arsitektur untuk mengarah pada perolehan Substantial Equivalency (SE) menjadi sangat strategis.
Korean Architectural Acrediting Board (KAAB), dalam hal ini adalah pilihan Jurusan Arsitektur UII sebagai institusi untuk mendapatkan akreditasi/kesetaraan internasional di bidang pendidikan arsitektur. KAAB dipilih diantara tujuh pilihan badan akreditasi pendidikan arsitektur dunia lainnya yang telah bergabung sebagai kaukus akreditor internasional yang setara di bidang pendidikan arsitektur The Canberra Accord. Kaukus ini didirikan pada 1 Januari 2010 sebagai badan penilai kualifikasi akademik di bidang pendidikan arsitektur oleh badan-badan akreditor arsitektur ternama seperti The Australian Institute of Architects (RAIA), the Canadian Architectural Certification Board/Conseil canadien de certification en architecture (CACB/CCCA), the National Board of Architectural Accreditation (NBAA) of China, the Korea Architectural Accrediting Board (KAAB), the Consejo Mexicano de Acreditación de Enseñanza de la Arquitectura (COMAEA), the National Architectural Accrediting Board (NAAB) of the USA, dan the Commonwealth Association of Architects (CAA). Anggota-anggota kaukus ini disepakati mempunyai kesetaraan yang sama di bidang akreditasi/penyetaraan pendidikan arsitektur internasional. Korea, secara kultural, juga mempunyai kedekatan yang cukup dengan Indonesia khususnya pada aplikasi arsitektural yang dilatar belakangi oleh budaya dan alamnya dibanding ke enam negara lainnya.
Selain hal tersebut di atas, pemilihan KAAB sebagai akreditor dalam proses internasionalisasi ini adalah terutama pada besar pendanaan yang harus dikeluarkan pada proses aplikasi ataupun beaya tahunan. Meskipun badan-badan tersebut mempunyai kapasitas yang sama dalam hal penilaian akreditasi/penyetaraan, namun demikian masing-masing mempunyai tarif pembeayaan yang sangat berbeda secara signifikan.
Kekurangan yang mungkin ada pada pemilihan KAAB sebagai akreditor dalam proses ini adalah pada pandangan publik berkaitan dengan institusi yang relatif baru dikenal khususnya oleh masyarakat Indonesia. Namun demikian, sejak institusi ini sudah masuk dalam Kaukus Canberra yang diakui sama kapasitasnya oleh ke-tujuh negara tersebut, maka kekhawatiran tingkat kualitas akan tersingkirkan dengan sendirinya. Demikian juga dengan fenomena emerging new developed countries, Korea khususnya dan dunia Timur pada umumnya sudah menjadi acuan baru setelah dunia Barat Eropa dan Amerika. Kemauan ekonomi dan teknologi terkini bahkan sudah diambil alih oleh negara-negara antara lain seperti China dan Korea.
Sejarah Perkembangan Kurikulum Arsitektur UII
Kurikulum Jurusan Arsitektur telah berevolusi secara berkesinambungan sejak didirikan di tahun 1987. Diawali oleh Kurikulum 1987 yang berbasis Universitas Gadjah Mada sebagai universitas pembina hingga Kurikulum 2008 yang telah berusaha mengadaptasi dengan kompetensi internasional. Pada awal pendirian, kurikulum disusun sebagai kurikulum berbasis isi (content based curriculum) dan baru di tahun 2005-2008 seiring dengan penerimaan Hibah A3, Jurusan Arsitektur mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum). Secara garis besar alur evolusi kurikulum di Jurusan Arsitektur dirinci dalam Tabel berikut.
Evolusi Kurikulum Jurusan Arsitektur
Kurikulum 1987
|
Kurikulum 1995
|
Kurikulum 2002
|
Kurikulum 2002
|
Kurikulum 2013
|
Mengimplementasikan Kurikulum UGM secara penuh sebagai universitas pembina
(9 semester)
|
Kurikulum berorientasi profesional yang komprehensif (terdapat 4 studio di semester ke-7) (8 semester)
|
Desain bangunan sebagai kompetensi utama yang mengacu pada distribusi student performance criteria dari NAAB (8 semester)
|
Mengimplementasikan budaya studio dengan mengacu distribusi student performance criteria dari NAAB (8 semester)
|
Kurikulum pendidikan profesional arsitektur berstandar internasional (4+1 tahun atau 8 + 2 semester) dan mengacu student performance criteria KAAB secara penuh
|
Dengan demikian, Kurikulum 2013 ini merupakan mengembangan dari Kurikulum 2008 (SK Rektor No. 467/SK-Rek/DA/VI/2008) yang secara substansial telah berbasis (sebagian) kompetensi UIA dan IAI dan sesuai dengan Kepmendiknas No.232/U/2000 dan NO.045/U/2002.
Jurusan Arsitektur dalam melakukan evaluasi terhadap Kurikulum 2008 berlangsung dengan didukung oleh Program Hibah Kompetisi Program Studi yang diterima sejak 2011 hingga 2013 ini. Program Hibah Kompetisi Program Studi ini Jurusan Arsitektur melaksanakan tiga program utama yaitu yang menjadi inti: (A) Penyusunan kebijakan kurikuler Arsitektur Profesional 4+1 tahun yang mengarah pada fleksibilitas struktur dan konten Kurikulum / Jalur Studi; (B) Pengembangan Studio Culture yang berbasis standar internasional dan (C) Penyusunan desain input & output berorientasi internasional. .
Dalam konteks kurikulum, PHK-PS berfokus pada pengembangan kurikulum dan konten berbasis standar internasional yaitu student performance criteria (SPC) KAAB. Kegiatan evaluasi juga menyelenggarakan workshop yang menghadirkan technical assistance dari KAAB dan dari National University of Singapore (NUS). Workshop tersebut dilaksanakan pada tanggal 21-22 September 2011, dihadiri oleh representasi dari 10 sekolah arsitektur di Indonesia, dan narasumberi KAAB (Prof. Choi dan Dr. Lee), APTARI (Dr. Ridwan Kemas), dan Ketua Jurusan Arsitektur ITB (Dr. Heru Poerbo). Prof. Johannes Widodo dari NUS yang berhalangan hadir namun dapat ikut serta melalui jaringan teleconference. Kegiatan ini berlangsung dengan baik dan sebagai luarannya adalah adanya rekomendasi struktur kurikulum baru yang merupakan kurikulum komprehensif Sekolah Arsitektur 4 + 1 tahun yang akhirnya disebut sebagai Kurikulum 2013.