Sesuai Kurikulum 2013 Program Studi Arsitektur FTSP UII, Studio Perancangan Arsitektur 7 (atau Stupa 7) menjadi mata kuliah yang sangat penting untuk menyiapkan Projek Akhir Sarjana (PAS). Stupa 7 dan PAS diharapkan menjadi kesatuan substansi yang menerus sekaligus saling mengisi hingga akhirnya didapatkan kemampuan mahasiswa sesuai dengan yang diharapkan. Dengan metode ini maka mahasiswa (dan pembimbing) akan memiliki waktu yang lebih panjang untuk melakukan eksplorasi isu peran arsitektur dalam konteks spasial maupun sosial hingga pengambilan keputusan perencanaan dan perancangan mulai dari kajian makro (strategi), mezo (rancangan kawasan ) hingga mikro (rancangan bangunan).
Stupa 7 dan PAS di tahun ke-4 merupakan studio tahap akhir untuk tingkat Sarjana Arsitektur yang diharapkan menunjukkan tingkatan komprehensif (Comprehensive Thematic Studios). Tingkat ini merupakan akumulasi dari perjalanan merancang dari studio dasar (Architectural Expression Studios) yang mempelajari dasar-dasar perancangan (Stupa 1 dan 2), studio konteks (Architectural Context Studios) yang mempelajari arsitektur pada konteks alami dan buatan (Stupa 3 dan 4), studio mode produksi arsitektur (Architectural Production Studios) (Stupa 5 dan 6) yang mempelajari mode produksi berbasis tradisi dan industri. Bagi para mahasiswa yang meneruskan tahap hingga pendidikan profesi maka akan dilanjutkan dengan studio profesi untuk memperdalam tingkat pengetahuan dalam manajemen proyek dan relasinya dengan peran arsitek secara keseluruhan (Professional Architectural Studios).
Berikut adalah tema dan komposisi dosen pengampu untuk Studio Perancangan Arsitektur 7 tahun akademi 2017/2018
Tema 1: Performance Based Design (PDB) (Kelas Dr. Ir. Sugini, MT. IAI. dan Ir. Saifudin Mutaqi, MT. IAI)
PBD merupakan suatu pendekatan perancangan pada bangunan yang baik yang sederhana ataupun kompleks yang mengupayakan tercapainya suatu persyaratan kinerja (performance requirements) misalnya dalam aspek efisiensi energi, respon terhadap gempa dan bencana, optimasi ventilasi, soundscape, lightscape ataupun hal yang lebih bersifat behavioral/perilaku namun tanpa merujuk pada suatu metode atau standar tertentu untuk mencapainya. Hal ini untuk membedakan perencanaan yang berbasis standar yang mana ketentuan standar tersebut telah ditetapkan sejak awal. Persyaratan “green building” (misalnya GBCI ataupun LEED) adalah bentuk/contoh aplikasi PBD di level bangunan. PBD dapat dilakukan di level perencanaan dan perancangan kawasan dengan menyusun persyaratan yang dapat dipakai menjadi urban design guideline.
Tema 2. Evidence-Based Design (EBD) (Kelas Ir. Suparwoko, MURP. PhD. dan Ir. Handoyotomo, MTA. IAI)
EBD merupakan suatu pendekatan perancangan yang diperkenalkan utamanya untuk perancangan rumah sakit. Prinsip utama dari pendekatan ini adalah merancang yang berbasis pada upaya menemukan adanya bukti kredibel yang mempengaruhi rancangan pada bangunan secara signifikan. Karya arsitektur yang dianggap menjadi tonggak EBD adalah rumah sakit karya Aalvar Alto yang mengubah pandangan rumah sakit tradisional bahwa penderita tuberkulosis akan lebih baik ditangani dengan memaparkan mereka pada matahari, angin dan keadaan alami. Pendekatan berbasis pengetahuan yang kredibel ini mengutamakan lingkungan binaan yang ‘user-focused’ yang benar-benar dapat memperbaiki kondisi penghuni baik dari sisi kesehatan, keamanan, kesejahteraan ataupun produktivitas. Saat ini EBD tidak hanya dipakai untuk perencanaan fasilitas kesehatan tetapi juga pada fasilitas komersial dan lain-lain. EBD juga mempunyai potensi untuk diterapkan di level makro kawasan dengan mencari temuan-temuan bukti yang lantas dapat dikembangkan menjadi urban design guideline.
Tema 3. Para/bio-metric Design (Kelas Dr. Ir. Arif Wismadi, MSc. dan Barito Adi Buldan GR ST, MSc)
Perancangan parametrik adalah proses merancang yang berbasis pemikiran algoritma yang memungkinkan adanya ekspresi dari parameter atau batasan (contraint) tertentu. Dengan prinsip itu hubungan antar elemen dipakai untuk memanipulasi bentuk agar dapat dipakai untuk mengembangkan geometri dan struktur yang komplek. Perancangan parametrik memang sering dianggap sama dengan computer aided design (CAD) karena dianggap proses pencarian bentuk dengan parameter tersebut sering dilakukan dengan komputer. Namun demikian eksplorasi fundamental bahwa parameter / batasan tertentu dapat menghasilkan pola justru dimulai dari pemikiran dan bukan sebuah hasil ‘random’ perlu dijadikan titik awal.
Tema 4. Open Design (Kelas Dr.Ing. Ilya Maharika, IAI dan Ir. Hastuti Saptorini, MA.)
Prinsip Open Design terletak pada pemahaman bahwa lingkungan binaan tersusun oleh berbagai level “struktur” yang terjalin dalam jejaring yang kompleks. Masing-masing kadang mempunyai organisasi dan aktor yang bertanggung jawab (otoritas) dan sering saling terkait. Upaya memahami struktur ini penting sebagai langkah awal perancangan lingkungan binaan untuk memberikan ruang pada perubahan sehingga menjadi jalinan struktur dan aktor yang cerdas. Level struktur ini juga akan berbeda-beda umur kerjanya serta pembangunannya. Open Design sebenarnya telah dimulai dari prinsip yang dikembangkan oleh Habraken dengan konsep open building yang memilah-milah sebuah permukiman mulai dari struktur jalan dan lansekap, struktur rumah, pengisi, dan furnitur yang masing-masing mempunyai umur dan otoritas. Ekplorasi desain terkait dengan strategi ini yang sangat dikenal di Indonesia dilakukan oleh Prof. Johan Silas untuk rumah-rumah susun di Surabaya.
Namun akhir-akhir ini Open Design juga berkembang menjadi mirip prinsip open source di teknologi informasi dimana desain dibangun berdasar informasi yang sifatnya terbuka namun diimplementasikan untuk rancangan fisik. Eksplorasi ke arah ini sangat memungkinkan membuka wacana baru tentang arsitektur dan perancangan kawasan yang merespon perubahan dan dinamika masyarakat secara lebih ‘real time’.
Tema 5. Co-Design (Ir. Wiryono Raharjo, MArch. PhD. dan Ir. Fajriyanto, MTP. IAP.)
Co-design merupakan sebuah evolusi panjang dari user centred design, hingga participative design, dan sejenisnya. Co-design mendorong munculnya area peran kelabu antara pengguna dan perencana dengan fokus pada proses untuk mencapai tujuan perancangan. Dalam pendekatan ini perancang berusaha untuk mendorong agar proses dan produk perancangan benar-benar berpusat pada klien dan pengguna (client/user centred design). Dalam co-design perlu dibangun dalam upaya mengkreasi konsep maupun rancangan melalui shared vision, pembelajaran sosial, dan kesepahaman semua aktor. Dalam co-design juga diharapkan adanya upaya negosiasi perbedaan perspektif dan harapan dalam proses perancangannya untuk menghasilkan nilai yang unik dalam perancangannya. Co-design sering dipakai untuk intervensi arsitektural di permukiman, ruang publik di kota dan mencari solusi di daerah konflik.
Tema 6. Narrative Design (Kelas Dr.-Ing. Putu Agustiananda, ST. MA. dan Ir. Tony Kunto Wibisono, MSc.)
Narrative design banyak terinspirasi dari cara-cara pembuat film dan film itu sendiri dalam mengkonstruksi desain. Setiap ruang kota mempunyai cerita. Sudut jalan, bangunan dan lorong-lorong kota semuanya mempunyai perjalanan sejarah yang implisit, atau dikenang oleh para penghuninya yang dapat diceritakan kembali. Kadang bahkan cerita itu tertulis secara eksplisit misalnya dengan panil dalam candi atau kaca patri. Narrative design mengolah cerita-cerita tersebut menjadi ruang kota kembali, atau dapat pula menyusun cerita “baru” untuk memberi kehidupan pada bagian wilayah yang mati. Narrative design dapat menggunakan film, wacana (teks) ataupun mengungkap cerita di baik ruang, sebagai upaya rekostruksi kota untuk menciptakan karakter kota yang kuat.