Architecture UII Goes to Bali: Belajar Hidup dari Tanah yang Hidup

Dilaksanakan pada tanggal 3 – 7 Mei 2016, mahasiswa dapat merasakan bagaimana Arsitektur Bali bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pura ini. Tata ruang dan kota yang diatur oleh peraturan adat membuat Arsitektur Bali terasa sangat khas. Dipimpin oleh Bapak Ir. Priyo Pratikno, MT dan didampingi oleh Ibu Ir. Rini Darmawati, MT dan Ibu Yulia Pratiwi, ST., M.Eng, rombongan mengunjungi beberapa lokasi KKL diantaranya adalah Museum Bali, Jurusan Arsitektur Universitas Udayana, Uluwatu Temple, Garuda Wisnu Kencana, Goa Gajah, dan Tanah Lot. Namun yang paling menarik sebagai bahan pembelajaran adalah Desa adat Tenganan yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, di sebelah timur Pulau Bali.

Desa Tenganan merupakan desa adat tua yang dihuni oleh Suku Bali Aga, yaitu desa yang masih mempertahankan pola hidup dan masyarakatnya sesuai dengan aturan adat tradisional yang diturunkan oleh nenek moyang. Selain pola hidup dan kemasyarakatan, aturan adat juga mengatur tata ruang dan bangunan di desa ini. Itu sebabnya kita bisa melihat arsitektur Bali yang sesuangguhnya disini.

Desa Tenganan yang ditata linier membentuk hierarki antara rumah ibadah dan rumah tinggal. Poros utama di pusat desa diisi oleh bangunan-bangunan suci yang biasa digunakan untuk ritual adat dan upacara. Poros kedua dan ketiga yang berada di kanan kiri poros utama diisi oleh rumah-rumah yang diatur sesuai ketentuan adat. Rumah-rumah di desa Tenganan menghadap ke arah jalan, dengan bagian belakang yang saling memunggungi

 


Pada kesempatan ini Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, MT, IAI yang menemani rombongan menceritakan bahwa tata kemasyarakatan di desa Tenganan juga mempengaruhi sistem spasial desa. Anak yang sudah menikah harus segera meninggalkan rumah keluarganya. Desa menyediakan tanah untuk membangun rumah, dan memperbolehkan menebang maksimal tiga pohon untuk material bangunan. “Pohon yang boleh ditebang adalah pohon yang nyaris kering, tidak boleh yang sedang rindang. Hanya boleh tiga. Lebih dari itu dianggap mencuri, dan pelakunya tidak boleh tinggal di dalam desa, harus di sisi luar Desa Tenganan,” tambah Professor Wayan untuk menekankan bahwa masyarakat Desa Tenganan sangat memperhatikan kehidupan lingkungan di sekitar mereka.

Seperti rumah Bali lainnya, rumah di Desa Adat Tenganan juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: pondasi sebagai kaki, dinding tegakan sebagai badan, dan atap kepala. Tidak ada aturan material khusus untuk bagian kaki dan badan, namun ada larangan untuk menggunakan alang-alang sebagai material atap. Sebagian besar atap menggunakan ijuk.

Kaki, badan dan kepala dalam arsitektur Bali menggambarkan bangunan rumah sebagai manusia. Setiap kali pembangunan selesai akan dilaksanakan upacara khusus sebagai tanda bahwa bangunan sudah lengkap tubuhnya dan berjiwa. Rumah dalam Arsitektur Bali tidak pernah dilepaskan dari inti ajaran dalam berkeluarga dan berketuhanan. Mulai dari tumbuh bersama keluarga, memasak, berdoa, dan aktivitas lainnya, dilakukan di dalam rumah. Selayaknya penghuni, rumah dan bangunan di Bali juga diperlakukan sebagaimana yang memiliki jiwa dan hidup berdampingan dengan manusia. Dari perjalanan ke Desa Tenganan ini kita dapat mempelajari bahwa membangun bangunan adalah menciptakan dan memelihara kehidupan.

Banyak hal yang dapat dipelajari ketika kita mendatangi suatu tempat, yang tentu saja tidak semuanya bisa kita temukan di dalam buku. Berada di Bali adalah merasakan Bali. Belajar arsitektur Bali adalah merasakan nilai-nilai yang berpadu dalam ruang-ruang yang tercipta disana. Bali mewujudkan Arsitektur sebagai manifestasi manusia yang hidup dalam harmoni dengan Tuhannya. Seandainya kita mampu memahami ini, ber-Arsitektur tentu lebih dari membangun bangunan, namun menghidupkan sebuah kehidupan, serta memelihara apa yang diberikan oleh Tuhan.Nani Susiani. Foto oleh Rizqi Bagaskara

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply